Dia lah Ibnu Bathutah. Pada 725H/1325 M, ia baru berusia sekitar 21 tahun. Anak muda berdarah Berber ini dengan berat hati meninggalkan kedua orangtuanya. Berbekal seekor kuda, uang, dan kain ihram, ia berniat pegi haji ke Makkah lewat jalur darat. Kota suci itu berjarak 5.000 kilometer dari kota kelahirannya.
Wisata muslim - Pada tahun 750 H/1349 M, Doughlas Bullis dan Norman Macdonald menulis dalam sebuah karyanya, “From Pilgrim” dan “Traveler” (Saudi Aramco World, Juli/Agustus, 2000) bahwa ada seorang penunggang kuda berpakaian lusuh, berusia setengah baya, dan berjalan menuju kota Tangier di pantai afrika utara.
Pada saat meninggalkan kota kelahirannya, Tangier, 24 tahun sebelumnya, pria itu tidak pernah mengira akan melakukan perjalanan panjang selama seperempat abad tanpa sempat pulang ke kampungnya. Ketika kedua mata pria paru baya itu menatap kota kelahirannya, ia mencermati satu per satu rumah di sana. Barisan rumah yang tampak berjejer dengan arah melengkung sepanjang tepian pantai Lautan Atlantik. Ia pun mencoba memutar ulang seluruh rekaman kota yang telah ia tinggalkan sejak seperempat abad sebelumnya.
Gamang, itulah hal lumrah yang ia rasakan. Kekhawatiran muncul karena ia merasa belum tentu bisa kembali ke negerinya. Perjalanan antara Tangier dan Makkah bukanlah perjalanan ringan dan aman. Apalagi perjalanannya ke Makkah ternyata menjadi awal perjalanan panjangnya menempuh jarak ribuan kilometer, mulai dari Tangier, Maroko, Damaskus, Madinah, kemudian Makkah. Jalur yang akan ia lintasi cukup berbahaya dan rawan kejahatan. Bayangkan, ia akan melintasi padang pasir, pegunungan, dan Sungai Nil.
Kehawatiran Ibnu Bathuthah terbukti. Pada saat melintasi suatu padang pasir, ia bersama robongan berjumpa dengan gerombolan perampok. Bahkan, ia sempat berkelahi dengan kawanan perampok hingga nyaris terbunuh. Beruntung, Ibnu Bathuthah ditolong oleh seorang pemimpin kelompok tersebut.
Perjalanan haji Ibnu Bathuthah juga melintasi keringnya udara laut Mediterania dan teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Semua ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Setelah menempuh jarak sekitar 3.500 kilometer, mereka menjumpai kota pertama untuk disinggahi, Alexandria. Ia juga mampir di kairo selama beberapa waktu. Dari Kairo, ia melanjutkan perjalanan melintasi rute melalui kota Allepo dan Damaskus bersama rombongan haji yang menuju Makkah. Perjalanan tersebut tetap ditempuhnya dengan berjalan kaki.
Ibnu Bathuthah dan rombongannya mencapai Makkah pada bulan Dzulqa’dah 726 H/Oktober 1326 M. Waktu yang mereka tempuh selama pejalanan adalah 18 bulan. Tepat satu bulan menjelang pelaksanaan ibadah haji pada tahun itu, mereka tiba di Makkah. Pada saat di Damaskus, beliau menikah dan memiliki seorang putera.
Setelah menunaikan ibadah hajinya di Makkah, beliau menuju Madinah, Damaskus, Irak, Iran, lalu kembali ke Makkah. Di kota suci ini ia bermukim selama 3 tahun dan menimba ilmu kepada sejumlah ulama dan ilmuwan.
Setelah cukup menimba ilmu, Ibnu Banthuthah mengayunkan kakinya ke kota Yaman dengan menyebrangi Laut Merah menuju Afrika dan Etopia, Mombasa, Zanzibar, hingga Kilawa.
Dari Somalia, Ibnu Bathuthah menuju Suriah melewati wilayah Anatolia dan Turki dengan menaiki kapal Genoa. Ia menuju Konya hingga Sinope yang terletak di Laut Hitam. Perjalanan selanjutnya adalah ke Caffa, Ozbeg, dan Astarakhan. Dari sini ia melanjutkan perjalanannya ke Konstantinopel.
Ibnu Bathuthah sangat mengagumi Konstantinopel. Menurut catatannya, ia melihat banyak pendeta dan biarawati di kota benteng tersebut. Di kota ini pula, ia bertemu dengan Kaisar Androcius III Palaelogus dan mengunjungi St. Hagia Sophia. Namun, ia menolak masuk gereja itu dengan alasan tidak mau melintas di bawah palang salib. Memang, pada saat itu, Konstantinopel masih berada dalam kekuasaan Romawi Timur.
Setelah satu bulan di Konstantinopel, Ibnu Bathuthah kembali ke Astarakhan melewati Laut Kaspia dan Aral menuju Bukhara dan Samarkand. Kemudian ia mengarahkan langkahnya menuju Afganistan dan India, yang saat itu masih berada di bawah kekaisaran Dinasti Taughluq dan dipimpin Ghiyatsudin Muhammad Syah II.
Ibnu Bathuthah bermukim selama delapan tahun, bahkan ia sempat menjabat sebagai qadhi. Perjalanan pun ia lanjutkan ke Cina sebagai duta Kesultanan Delhi untuk penguasa Cina kala itu. Ia berangkat bersama rombongan diplomatik.
Pada akhir musim panas, sekitar tahun 741 H/1341 M, Ibnu Bathuthah menuju pelabuhan Cambay. Namun di tengah perjalanan, mereka diserang pemberontak Hindu yang menguasai daerah pedesaan India. Ibnu Bthuthah tertangkap, tetapi ia berhasil melarikan diri dan bergabung dengan rombongan yang tersisa dan menuju Cina. Dari sini ia singgah di Indonesia selama 15 hari sebelum menuju kawasan teluk Persia dalam perjalanannya ke kepulauan Meldive.
Di kepulauan ini dia menikah lagi dan dikaruniai seorang putera. Setelah bermukim beberapa lama, ia melanjutkan perjalanannya menuju Damaskus, Suriah. Maksud kedatangannya kembali ke kota ini adalah bertemu dengan puteranya yang telah ia tinggalkan selama 20 tahun sebelumnya. Sayang, puteranya sudah meninggal 15 tahun sebelum kedatangannya.
Ibnu Bathuthah meneruskan perjalanannya ke Mesir. Di kota ini, dia tidak tinggal berlama-lama karena negeri ini sedang dilanda penyakit kolera. Ia pun mengarahkan tujuannya ke Andalusia, Spanyol, sebagai tempat kunjungan berikutnya. Selanjutnya, Ibnu Bathuthah menuju kawasan Afrika tengah.
Terminal terakhir perjalanan Sang Traveller adalah Frez, Maroko. Ia tiba di kota tersebut pada 756 H/1357 M. Di kota itu pula beliau wafat pada tahun770 H/1368-1369 atau 779 H/1377 M setelah kunjungannya ke Andalusia.
Sahabat wisata muslim, perjalanan Ibnu Bathuthah ini terjadi lebih dari 125 tahun sebelum Christoper Colombus, Vasco da Gama, dan Ferdinad Magellhan melakukan ekspedisinya. Tak heran jika Ibnu Bathuthah disebut sebagai pengelana abad pertengahan dan pengelana seluruh kawasan dunia Islam. Menurut para pakar, Ibnu Bathhuthah tidak tertandingi oleh siapa pun, termasuk oleh Marcopolo, Magellhan, dan Colombus, hingga ditemukannya kapal uap. (RA)
Pada saat meninggalkan kota kelahirannya, Tangier, 24 tahun sebelumnya, pria itu tidak pernah mengira akan melakukan perjalanan panjang selama seperempat abad tanpa sempat pulang ke kampungnya. Ketika kedua mata pria paru baya itu menatap kota kelahirannya, ia mencermati satu per satu rumah di sana. Barisan rumah yang tampak berjejer dengan arah melengkung sepanjang tepian pantai Lautan Atlantik. Ia pun mencoba memutar ulang seluruh rekaman kota yang telah ia tinggalkan sejak seperempat abad sebelumnya.
Gamang, itulah hal lumrah yang ia rasakan. Kekhawatiran muncul karena ia merasa belum tentu bisa kembali ke negerinya. Perjalanan antara Tangier dan Makkah bukanlah perjalanan ringan dan aman. Apalagi perjalanannya ke Makkah ternyata menjadi awal perjalanan panjangnya menempuh jarak ribuan kilometer, mulai dari Tangier, Maroko, Damaskus, Madinah, kemudian Makkah. Jalur yang akan ia lintasi cukup berbahaya dan rawan kejahatan. Bayangkan, ia akan melintasi padang pasir, pegunungan, dan Sungai Nil.
Kehawatiran Ibnu Bathuthah terbukti. Pada saat melintasi suatu padang pasir, ia bersama robongan berjumpa dengan gerombolan perampok. Bahkan, ia sempat berkelahi dengan kawanan perampok hingga nyaris terbunuh. Beruntung, Ibnu Bathuthah ditolong oleh seorang pemimpin kelompok tersebut.
Perjalanan haji Ibnu Bathuthah juga melintasi keringnya udara laut Mediterania dan teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Semua ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Setelah menempuh jarak sekitar 3.500 kilometer, mereka menjumpai kota pertama untuk disinggahi, Alexandria. Ia juga mampir di kairo selama beberapa waktu. Dari Kairo, ia melanjutkan perjalanan melintasi rute melalui kota Allepo dan Damaskus bersama rombongan haji yang menuju Makkah. Perjalanan tersebut tetap ditempuhnya dengan berjalan kaki.
Ibnu Bathuthah dan rombongannya mencapai Makkah pada bulan Dzulqa’dah 726 H/Oktober 1326 M. Waktu yang mereka tempuh selama pejalanan adalah 18 bulan. Tepat satu bulan menjelang pelaksanaan ibadah haji pada tahun itu, mereka tiba di Makkah. Pada saat di Damaskus, beliau menikah dan memiliki seorang putera.
Setelah menunaikan ibadah hajinya di Makkah, beliau menuju Madinah, Damaskus, Irak, Iran, lalu kembali ke Makkah. Di kota suci ini ia bermukim selama 3 tahun dan menimba ilmu kepada sejumlah ulama dan ilmuwan.
Setelah cukup menimba ilmu, Ibnu Banthuthah mengayunkan kakinya ke kota Yaman dengan menyebrangi Laut Merah menuju Afrika dan Etopia, Mombasa, Zanzibar, hingga Kilawa.
Dari Somalia, Ibnu Bathuthah menuju Suriah melewati wilayah Anatolia dan Turki dengan menaiki kapal Genoa. Ia menuju Konya hingga Sinope yang terletak di Laut Hitam. Perjalanan selanjutnya adalah ke Caffa, Ozbeg, dan Astarakhan. Dari sini ia melanjutkan perjalanannya ke Konstantinopel.
Ibnu Bathuthah sangat mengagumi Konstantinopel. Menurut catatannya, ia melihat banyak pendeta dan biarawati di kota benteng tersebut. Di kota ini pula, ia bertemu dengan Kaisar Androcius III Palaelogus dan mengunjungi St. Hagia Sophia. Namun, ia menolak masuk gereja itu dengan alasan tidak mau melintas di bawah palang salib. Memang, pada saat itu, Konstantinopel masih berada dalam kekuasaan Romawi Timur.
Setelah satu bulan di Konstantinopel, Ibnu Bathuthah kembali ke Astarakhan melewati Laut Kaspia dan Aral menuju Bukhara dan Samarkand. Kemudian ia mengarahkan langkahnya menuju Afganistan dan India, yang saat itu masih berada di bawah kekaisaran Dinasti Taughluq dan dipimpin Ghiyatsudin Muhammad Syah II.
Ibnu Bathuthah bermukim selama delapan tahun, bahkan ia sempat menjabat sebagai qadhi. Perjalanan pun ia lanjutkan ke Cina sebagai duta Kesultanan Delhi untuk penguasa Cina kala itu. Ia berangkat bersama rombongan diplomatik.
Pada akhir musim panas, sekitar tahun 741 H/1341 M, Ibnu Bathuthah menuju pelabuhan Cambay. Namun di tengah perjalanan, mereka diserang pemberontak Hindu yang menguasai daerah pedesaan India. Ibnu Bthuthah tertangkap, tetapi ia berhasil melarikan diri dan bergabung dengan rombongan yang tersisa dan menuju Cina. Dari sini ia singgah di Indonesia selama 15 hari sebelum menuju kawasan teluk Persia dalam perjalanannya ke kepulauan Meldive.
Di kepulauan ini dia menikah lagi dan dikaruniai seorang putera. Setelah bermukim beberapa lama, ia melanjutkan perjalanannya menuju Damaskus, Suriah. Maksud kedatangannya kembali ke kota ini adalah bertemu dengan puteranya yang telah ia tinggalkan selama 20 tahun sebelumnya. Sayang, puteranya sudah meninggal 15 tahun sebelum kedatangannya.
Ibnu Bathuthah meneruskan perjalanannya ke Mesir. Di kota ini, dia tidak tinggal berlama-lama karena negeri ini sedang dilanda penyakit kolera. Ia pun mengarahkan tujuannya ke Andalusia, Spanyol, sebagai tempat kunjungan berikutnya. Selanjutnya, Ibnu Bathuthah menuju kawasan Afrika tengah.
Terminal terakhir perjalanan Sang Traveller adalah Frez, Maroko. Ia tiba di kota tersebut pada 756 H/1357 M. Di kota itu pula beliau wafat pada tahun770 H/1368-1369 atau 779 H/1377 M setelah kunjungannya ke Andalusia.
Sahabat wisata muslim, perjalanan Ibnu Bathuthah ini terjadi lebih dari 125 tahun sebelum Christoper Colombus, Vasco da Gama, dan Ferdinad Magellhan melakukan ekspedisinya. Tak heran jika Ibnu Bathuthah disebut sebagai pengelana abad pertengahan dan pengelana seluruh kawasan dunia Islam. Menurut para pakar, Ibnu Bathhuthah tidak tertandingi oleh siapa pun, termasuk oleh Marcopolo, Magellhan, dan Colombus, hingga ditemukannya kapal uap. (RA)