alexandria-mesir |
Sebelum memeluk Islam, Amr ibn Ash adalah seorang pedagang sukses di kota Alexandaria, yang menjadi pusat perniagaanya. Setelah memeluk Islam pada tahun 18 H/639 M, Amr ibn Ash diangkat oleh khalifah Umar ibn Al-Khattab menjadi Gubernur Palestina dan Yordania.
Pada saat Khalifah Umar melakukan perjalanan terakhir ke Suriah, Amr ibn Ash menunggu kedatangan sang Khalifah untuk membicarakan idenya untuk menguasai Mesir. Menurutnya, Mesir harus ditundukkan agar posisi pasukan kaum muslimin yang telah berhasil menundukan Suriah dan Yordania terlindungi, terutama dengan menundukan kota Alexandria. Hal itu disebabkan Alexandaria merupakan salah satu pangkalan kuat bangsa Romawi yang merajalela di Laut Tengah. Alexandria harus direbut, jika tidak, posisi pasukan kaum muslimin akan selalu menjadi bulan-bulanan angkatan laut Romawi yang menguasai Laut Mediterania.
Awalnya, Khalifah Umar enggan memenuhi permintaan sang jenderal. Menurutnya, penaklukan Mesir belum saatnya dilakukan. Namun, karena Amr ibn Ash mengemukakan idenya berulang-ulang, sang khalifah pun mengizinkannya dengan syarat hanya membawa 4.000 serdadu.
Mendengar keputusan tersebut, betapa gembiranya sang jenderal yang terkenal piawai di medan pertempuran itu. Ia pun segera membawa pasukan dari al-Arisy menuju Farma, yang terletak di tepi Laut Tengah. Setelah berhasil mengalahkan pasukan Romawi yang mencoba menghadangnya, sang jenderal mengarahkan pasukannya ke arah Benteng Babilonia. Benteng pun jatuh, begitu pula dengan wilayah Balbis dan Umm Danin.
Setelah beberapa saat beristirahat di dekat Benteng Babilonia, Amr meminta izin lagi untuk menaklukkan Alexandria, yang pada saat itu menjadi kota metropolis Byzantium yang berkebudayaan Yunani. Begitu izin sang Khalifah diterima, Amr ibn Ash pun menggerakkan pasukan kaum Muslimin untuk mengepungnya. Setelah pengepungan selama 14 bulan, pasukan terdepan yang berada di bawah komando Zubair ibn Awwan dan Maslamah ibn Mukhallad berhasil menjebol pertahanan kota tersebut. Alexandria jatuh pada tahun 20 H/ 640 M.
Usai menaklukkan pasukan Romawi, Amr ibn Ash menulis surat kepada khalifah yang berisi, ”Saya telah berhasil menundukan sebuah kota di ujung barat. Betapa banyak harta kekayaan kota ini hingga saya tidak kuasa menghitungnya. Di kota ini terdapat tidak kurang dari 4.000 pemandian Yahudi yang siap membayar jizyah dan 4.000 pemain musik dan tarian.”
Untuk menhindari serangan balasan pasukan Romawi dari luat, yang masih menguasai berbagai kawasan di luar Mesir, Umar memerintahkan Amr ibn Ash supaya tidak memilih Alexandria sebagai markasnya. Khalifah Umar khawatir jika pasukan kaum muslim mendapat gempuran dari Angkatan laut Romawi, yang kala itu menguasai laut tengah dan berpusat di Konstantinopel. Oleh karena itu, ia membuat kota baru yang bernama Futsthath sebagai ibukota wilayah tersebut.
Kota ke-3 yang dibangun kaum muslimin pada 22 H/643 M, selepas Basrah dan Kuffah, yakni Fusattum, yang semula dijadikan barak militer dan berada pada posisi 4 kilometer dari tepi sungai Nil. Selain itu, sebagai penanda keberhasilan bersejarah tersebut dan meneladani jejak Rasulullah SAW, didirikanlah sebuah Masjid. Inilah bangunan masjid yang kini lebih dikenal dengan Masjid Amr ibn al-Ash (Masjid Futsthath).
Menurut catatan sejarah, masjid ini merupakan bangunan ke-4 setelah Masjid Madinah, Kuffah, dan Basrah. Awalnya masjid ini sangat sederhana dengan panjang 25 meter, lebar 15 meter, dan dinaungi atap yang terbuat dari kayu, pelapah kurma, dan batang-batang pohon kurma. Saat itu, arah kiblat tidak sepenuhnya tepat sehingga diluruskan oleh Qurrah ibn Syarik. Masjid ini didirikan di tepi sungai Nil dan hanya memiliki 3 dinding.
Pada tahun 53 H/762 M, Masjid Futsthath direnovasi oleh Musalamah ibn Mukhallad yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Mesir pada pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Masjid tersebut diperluas dan temboknya dibuat dari batu bata. Selain itu ditambah empat buah menara di setiap sudutnya. Konon, menara-menara tersebut merupakan corak menara yang pertama kali dalam sejarah arsitektur Islam.
Selanjutnya, Masjid Futsthath diperindah oleh Abdul Aziz ibn Marwan, seorang penguasa Dinasti Umawiyyah. Pada tahun 93 H/710M, masjid ini kembali direnovasi oleh Qurrah ibn Syarik sehingga bertambah luas. Kali ini, tembok masjid dibuat menjulang tinggi dan atapnya dibuat dari kayu. Selain itu, beliau juga membuat mihrab berceruk untuk masjid ini. Inilah mihrab yang pertama kali dibuat di Mesir. Selanjutnya, masjid dilengkapi dengan sebuah mimbar kayu yang indah. Pembangunan kemudian diselesaikan oleh Shalih Ali, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Mesir.
Seiring berjalannya waktu, Masjid Futsthath kembali mengalami renovasi, yang dilakukan oleh Abdullah ibn Thahir, Thughj Al-Ikhsyidi, Khalifah Al-Munthasir, hingga Shalahuddin al-Ayyubi. Setelah itu, renovasi kembali dilakukan oleh Murad Beik pada tahun 1213 H/1798 M dan berujung pada tahun 1342 H/1922 M. Menurut Prof.Dr.Husain Mu’nis dalam karyanya Al-Masajid, saat ini secara artistik Masjid Futsthath merupakan masjid yang sangat selaras dan terpadu. (RA)
Masjid Fustath, Prasasti Pembebasan Mesir oleh Kaum Muslimin
Judul: Kisah Jatuhnya Mesir Ke Tangan Muslimin
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...
0 comments... Baca dulu, baru komentar
Post a Comment