Sudah kita ketahui bersama bahwa haji adalah ibadah yang amat mulia. Ibadah tersebut adalah bagian dari rukun Islam bagi orang yang mampu menunaikannya. Keutamaan haji banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Berikut beberapa di antaranya:
Pertama: Haji merupakan amalan yang paling afdhol.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)
Kedua: Jika ibadah haji tidak bercampur dengan dosa (syirik dan maksiat), maka balasannya adalah surga
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” (Syarh Shahih Muslim, 9/119)
Ketiga: Haji termasuk jihad fii sabilillah (jihad di jalan Allah)
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
Keempat: Haji akan menghapuskan kesalahaan dan dosa-dosa
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Kelima: Haji akan menghilangkan kefakiran dan dosa.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih)
Keenam: Orang yang berhaji adalah tamu Allah
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Begitu luar biasa pahala dari berhaji. Semoga kita pun termasuk orang-orang yang dimudahkan oleh Allah untuk menjadi tamu-Nya di rumah-Nya. Semoga kita dapat mempersiapkan ibadah tersebut dengan kematangan, fisik yang kuat, dan rizki yang halal.
Semoga Allah mengaruniakan kita haji yang mabrur yang tidak ada balasan selain surga.
Mitos Seputar Ibadah Haji
Beberapa cerita pengalaman menarik seputar ibadah haji mungkin telah mampir ketelinga kita, terutama soal “balasan-balasan” yang diterima oleh jama’ah haji selama melakukan ibadah haji. Pengalaman yang disampaikan dari mulut kemulut yang kemudian menimbulkan persepsi bahwa bagi mereka yang kelak akan menunaikan ibadah haji akan mendapatkan balasan yang sama atas semua perbuatannya selama hidup ditanah air, terutama soal keburukan yang pernah dilakukan.
Hal tersebut tentu bukan sebuah kebenaran yang harus kita percaya, karena itu hanyalah sebuah cerita yang dibesar-besarkan dan disebarluaskan menjadi sebuah mitos. Tidak sedikit yang kemudian yang percaya dengan hal-hal demikian dan mereka pun mengalami hal yang sama seperti cerita yang mereka dengar.
Mengapa hal tersebut terjadi?
Penyebabnya yaitu karena para jama’ah haji belum membersihkan diri secara maksimal sebelum berangkat ketanah suci.. Banyak jama’ah yang kemudian tidak benar-benar dalam kondisi yang siap beribadah ketanah suci oleh karena masih tersangkut oleh urusan-urusan ditanah air. Bagaimana mungkin akan tercipta kondisi lahir dan bathin yang siap beribadah haji sepenuhnya di tanah suci, bila kemudian apa yang jama’ah persiapkan belum atau tidak maksimal.
Berangkat menunaikan ibadah haji diibaratkan melakukan perjalanan menuju kematian. Karena kita tidak tahu apakah perjalanan tersebut akan menghantarkannya kembali ketanah air atau tidak.
Oleh karena itu persiapan maksimal harus dilakukan agar hasil maksimal bisa didapatkan, yaitu menjadi haji yang mabrur.
Persiapan tersebut berupa kesiapan mental bagi jama’ah haji dan keluarga yang ditinggalkan, kesiapan ilmu tentang haji agar ibadah yang kelak dilakukan ditanah air bisa maksimal, kesiapan finansial bagi jama’ah dan keluarga yang ditinggalkan, jangan sampai mereka yang ditinggalkan dalam kondisi kelaparan atau kekurangan pangan. Karena ibadah haji bukan hanya semata ibadah pribadi jama’ah tetapi ibadah sosial
Bila kemudian para jama’ah haji ada yang tidak siap secara lahir dan bathin untuk melakukan ibadah haji, maka cerita-cerita yang “dimitoskan” yang pernah mereka dengar akan terjadi. Karena ibadah haji akan dihadapkan kepada ujian-ujian yang melapangkan maupun yang menyempitkan urusan para jama’ah haji kelak. Bila lahir dan bathin kita tidak terkondisikan dengan baik, maka bisa tergelincir kepada perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan selama melakukan ibadah haji ditanah suci. Kemudian seolah membenarkan mitos bahwa benar apa yang telah jama’ah haji alami karena perbuatannya selama hidup ditanah, air.
Penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, hasut dan penyakit hati lainnya yang masih melekat selama menunaikan ibadah haji yang kemudian mengadirkan cerita-cerita mitos tersebut.
Penulis mencoba menceritakan kembali hal-hal yang dianggap mitos, padahal hanyalah balasan karena penyakit hati yang masih melekat didalam diri para jama’ah.
“Dalam sebuah kesempatan ibadah haji, seorang Kyai bersama dua jama’ah haji yang hendak melakukan ibadah sholat sunnah, karena sang Kyai mendapati dirinya tidak dalam kondisi bersuci, maka ia berpamitan dengan kedua jama’ah yang sebenarnya menjadi tanggung-jawabnya.
“saya pamit dulu ya, hendak berwudhu!”,
“kalian duduk disini saja, jangan kemana-mana!”
Setelah menghapal tempat kedua jama’ah tersebut, maka sang Kyai bergegas menuju ketempat wudhu. Dalam hati sang Kyai rupanya terselip rasa sombong karena merasa hari tersebut adalah hari keempat keberadaanya ditanah suci.
“Ah, ane kan sudah empat hari ditanah suci, lagian ane bisa bahasa arab jadi gak mungkin kesasar!”.
Usai berwudhu dimulailah episode pensucian atas kesombongan yang terselip dihati sang Kyai yang merasa sudah hapal tempat dan jago bahasa arab tersebut. Sang Kyai bergegas kembali menuju tempat ia meninggalkan kedua jama’ah tadi. Sudah berulang-kali sang Kyai mondar-mandir mencari tempat yang dimaksud, tetapi tidak ditemukan juga.
Dalam hati sang Kyai masih sempat mendumel “nih orang disuruh jangan kemana-mana, eh malah menghilang sekarang!”. Tempat yang ia hapalkan tadi tidak diketemukan, semuanya sama, karena memang tiang-tiang penyangga masjid tidak ada yang beda.
Hingga kemudian sang Kyai tersadar bahwa ia telah melakukan hal seharusnya tidak boleh dilakukan selama ditanah suci, salah satunya yaitu perbuatan sombong yang sempat terbersit didalam hati sang Kyai. Menyadari hal tersebut, sang Kyai sholat sunnah dua rakaat dan berdo’a memohon ampunan atas kesombongan yang telah dilakukan, dan meminta ia dipertemukan kembali dengan kedua jama’ah yang ditinggalkan. Alhamdulillah setelah melakukan sholat sunnah dan do’a, beberapa meter dari tempatnya ia melihat kedua jama’ah tersebut. Sebenarnya kedua jama’ah tersebut melihat mondar-mandirnya sang Kyai melintas disamping tempat mereka duduk, tapi karena melihat sepertinya sang Kyai sedang dalam urusan yang “penting” maka mereka tidak menegurnya.
Cerita seperti itu dalam berbagai versi dan bobot masalah yang lebih serius juga dialami jama’ah-jamah yang lain. Balasan yang setimpal atas amal perbuatan yang dilakukan oleh para jama’ah haji kontan diterima saat itu juga. Oleh karena itu untuk menjaga agar hal-hal buruk tidak menimpa kita saat menunaikan ibadah haji, maka hindarilah perbuatan lahir dan bathin yang tercela. Fokuskan sepenuhnya aktifitas kita hanya untuk beribadah haji dengan khusyuk, lupakan belanja dan memenuhi pusat-pusat perbelanjaan apalagi sampi menyibukkan diri untuk menyiapkan oleh-oleh buat keluarga ditanah air. Bawalah oleh-oleh ketanah air dengan menjadi haji yang mabrur. Agar kelak gelar haji yang disandang bisa bermanfaat secara sosial dengan menularkan kesholehan dan kebaikan bagi masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Judul: Merenungkan Kembali Makna Ibadah Haji
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...
0 comments... Baca dulu, baru komentar
Post a Comment