Ahmad Usmani Rofi’i (penulis buku sejarah Nabi Muhammad) mengatakan bahwa ketika dia bersama istri dan rekannya melintasi gedung tersebut, saat itu sedang berlangsung sebuah pertunjukan musik sufi dan whiliring dervishwes ceremony. Selain di gedung tersebut, konser dan tarian itu juga ditampilkan di Bait al-Suhaimi dan Nile Dinner Crusie, Kairo. Sebagian besar para penikmatnya adalah para turis asal Jepang dan Eropa.
Suasana ruangan itu benar-benar hening. Tepat pukul 19.30, cahaya lampu mulai diredupkan, kecuali lampu sorot yang diarahkan ke tempat pertunjukan. Tak lama kemudian, lima orang dengan jubah hitam dan topi felt merah tinggi masuk ke pentas. Mereka langsung menuju lima kursi yang disediakan di depan para penonton dan mengambil peralatan musik yang tersedia. Ternyata mereka para pemain musik yang akan mengiringi para penari tarian putar. Satu orang memegang kendang kecil, satu orang memegang kecapi Arab, satu orang memegang tambur, dan dua orang memegang seruling panjang.
Pertunjukan pun dimulai. Salah seorang di antara kelima orang itu mengawali pertunjukan dengan lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Setelah lagu shalawat tersebut, terdengar lagu yang menyayat hati ke seluruh ruangan yang bercorak arsitektur Turki. Suasana dalam ruangan terasa sangat hening. Tak ada yang terdengar, selain alunan lagu.
Tidak lama kemudian, terlihat empat orang lain masuk ke ruangan. Seperti kelima orang sebelumnya, keempat orang itu mengenakan topi felt merah tinggi dan jubah berwarna hitam. Topi felt merah tinggi melambangkan nisan manusia yang banyak melakukan kesalahan.
Setelah memberikan penghormatan kepada kelima orang yang memainkan musik dan para penonton, mereka menyilangkan kedua tangan di dada, lalu membungkuk. Ini diibaratkan kesaksian pada keesaan Allah Swt. Kemudian mereka membuka jubah hitam yang mereka kenakan dan duduk. Kini, mereka tinggal mengenakan baju putih yang dilapisi rompi putih serta bawahan putih yang mirip rok lebar menjuntai. Kain putih merupakan simbol kain kafan yang nantinya bakal dibalutkan ke tubuh manusia ketika dikuburkan. Sementara jubah hitam merupakan simbol energi negatif.
Sahabat wisata muslim, tarian putar ini pernah dilarang Mustafa Kemal Ataturk pada tahun 1391 H/1923 M dan baru boleh ditampilkan kembali pada 1373 H/1954 M. Pertunjukan tarian dimulai oleh tiga orang dengan gerakan pelan melawan arah jarum jam. Bawahan mirip rok yang mereka kenakan pun pelan-pelan mulai melayang. Pada akhirnya, bawahan itu mengembang bagikan kipas putih yang berputar sangat cepat dan terlihat sangat indah. Adapun satu orang lagi mengikuti setelah putaran ketiga orang tersebut kencang.
Mereka terus berputar dan berputar dengan tangan kanan menengadah ke atas sebagai simbol kesiapan untuk menerima petunjuk dari sang pencipta. Sementara tangan kiri mejuntai ke bawah sebagai simbol penyebaran energi positif sekaligus menyerap energi negatif dari dan ke setiap hati manusia. Gerakan yang melawan arah jarum jam itu seperti gerakan orang yang sedang melaksanakan tawaf. “Apakah itu yang membuat mereka tidak cepat lelah?” ujar Ahmad Usmani Rofi’i.
Para penonton disuguhi tarian ini selama satu jam. Usai pertunjukan yang diakhiri dengan pembacaan beberapa ayat al-Qur’an, para penonton pun berdiri dan kemudian memberikan tepukan tangan untuk mereka. Itulah pertunjukan yang dinisbatkan kepada seorang sufi terkemuka, Jalaludin ar-Rumi.
Sahabat wisata muslim, di balik tarian tersebut ternyata terdapat nilai filosofi. Menurut para sufi Mevlevi, dalam tulisan Nevitt O. Ergin dan Will Jhonson dalam sebuah karya bersama mereka berjudul Rubaiyat Rumi-Insace with Love, segala sesuatu di jagat ini dari atom terkecil sampai planet terbesar, berputar pada sumbunya. Gerakan revolusi yang terus-menerus tidak pernah berhenti begitu mendasar bagi kerja alam semesta. Hanya melalui partisipasi secara sadar kepada gerakan ini, pengikut sufi berpendapat bahwa mereka bisa bersatu bersama energi Tuhan. Melalui upacara dan praktik berputar-putar, para penari darwish bisa meninggalkan dunia dan meloncat ke alam lain yang di dalamnya bisa dirasakan begitu kuat aliran deras kemanunggalan dan energi fana.
Banyak perbedaan pendapat yang muncul tentang bagaimana dan dari mana praktik berputar-putar itu masuk ke dalam kehidupan ar-Rumi. Beberapa penulis kronik mengatakan, salah satunya yaitu Syamsuddin at-Tabrizi mengajarkan tarian tersebut kepada ar-Rumi. Pendapat lain mengatakan bahwa tarian tersebut berawal ketika ar-Rumi berduka saat kepergian dan hilangnya Samsuddin at-Tabrizi. Menurut keterangan tersebut, ar-Rumi berada di kebun pada suatu sore ketika ia sendirian dan hanya ditemani rasa duka. Di kebun itu terdapat pilar tinggi, di mana satu pilar dengan yang lainnya dihubungkan terali yang menjadi tempat merambatnya anggur dan daun ara. Ar-Rumi bersandar pada pilar-pilar itu, menangis, dan tubuhnya bergetar. Sambil memegang salah satu pilar dengan satu tangan, ia mulai berputar mengelilingi pilar tersebut. Semakin lama, ia berputar semakin cepat dan tidak kuasa dihentikannya sampai duka dan sakit yang ia rasakan hilang. (Jng/RA)
Judul: Menikmati Tarian Darwish di Hodjapasha Art and Culture Center
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...
0 comments... Baca dulu, baru komentar
Post a Comment