Perpustakaan Alexandria atau Iskandariyah berbentuk silinder miring. Perpustakaan ini diresmikan pada tahun 1423 H/2002 M. Gedung ini berdiri di dekat perpustakaan lama yang didirikan pada awal ke-3 SM pada masa pemerintahan Kuil Muses. tujuannya untuk menarik orang-oarng bijak dari berbagai belahan dunia agar datang ke Mesir.
Konon, perpustakaan itu memiliki 500 ribu gulungan papyrus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14 M, Perpustakaan Sorbonne, Paris, yang katanya memiliki koleksi terbesar di zamannya hanya memiliki 1.700 buku.
Beberapa koleksi yang berharga adalah syair-syair karya Homer dan Hesoid. Ada pula naskah-naskah drama karya Sophocles, Euripides, dan Aristophanes. Di samping itu, terdapat pula buku-buku filsafat karya Plato dan Aristoteles, buku-buku sejarah karya Hecteus dan Herodotus, serta buku-buku kedokteran Medicine Corpus of Hipporactes dan Herophilus.
Para penguasa Mesir kala itu begitu bersemangat untuk memperbanyak koleksi literatur mereka. Sampai-sampai, mereka memerintahkan para prajurit untuk menggeledah setiap kapal yang masuk guna memperoleh sebuah naskah. Jika menemukan naskah, mereka menyimpan yang asli dan mengembalikan salinannya pada pemiliknya. Pada waktu itu, perpustakaan menjadi salah satu rumah para cendikiawan kelas dunia yang menghasilkan karya-karya besar di bidang geometri, trigonometri, astronomi, bahasa, kesusastraan, dan kedokteran.
Sayangnya, kemegahan perpustakaan ini berkali-kali runtuh dihantam badai serangan. Tercatat, ada tiga peristiwa serangan besar yang meluluhlantakkan Perpustakaan Alexandria.
Pertama, menurut dokumen yang berjudul “Kronik Perang Alexandria” karya Titus Livius bahwa Julius Caesar dari Roma memerintahkan pembakaran gedung itu untuk mengalahkan Ptolemeus. Cara ini dipakai untuk menghambat gerakan lawan karena sang kaisar tahu bahwa penduduk Alexandria sangat cinta pada perpustakaannya. Jika bangunan itu dibakar, mereka pasti beramai-ramai memadamkan api dan membiarkan Caesar pergi. Misi itu berhasil dan tercatat bahwa Perpustakaan Alexandria kehilangan 40.000 buku.
Kerusakan kedua dan ketiga disebabkan penyerangan bangsa Aurelian dan perusakan oleh Theophilus. Setelah itu, perpustakaan ditutup hingga Mesir dibebaskan oleh kaum Muslimin.
Sejak itulah perpustakaan Alexandria Baru dirancang oleh Snohetta, sebuah biro asitektur Norwegia. Perpustakaan dibagi secara diagonal dan berdiri dalam bentuk silinder yang ditusuk oleh sebuah garis lurus. Garis lurus yang menusuk bentuk silinder perpustakaan tersebut tidak lain adalah jembatan penyeberangan dari Universitas Alexandria bagian selatan. Jembatan tersebut membentang ke arah lantai dua perpustakaan dan terus ke plaza di sebelah utara gedung yang mengarah ke laut. Selain itu, bangunan berbentuk silinder dipotong oleh sudut miring. Semua dinding miring tersebut mengarah ke utara, ke arah laut Mediterania.
Dinding perpustakaan yang menghadap ke arah selatan dari bagian silinder dihiasi dengan potongan batu granit. Potongan tersebut berasal dari pecahan batu yang sangat besar, bukan hasil potongan alat seperti gergaji. Permukaan batu tersebut rata, dengan bentuk garis yang halus.
Batu-batu granit tersebut ditulis dengan simbol huruf dari seluruh dunia. Sinar matahari dan pantulan lampu di perbatasan air menghasilkan bentuk bayangan dinamis dari simbol tersebut. Pemandangan ini mengingatkan pada tempat beribadah Mesir kuno.
Dinding melengkung terbuat dari beton dengan sambungan vertikal terbuka. Sementara dinding yang lurus dihiasi dengan batu hitam dari Zimbabwe.
Sahabat wisata muslim, ada sebuah isu yang subur di kalangan para pembenci Islam bahwa Umar bin Khatthab telah menyuruh Amr ibn al-Ash menundukan Alexandria pada tahun 21H/640M, agar membakar perpustakaan tersebut.
Ternyata, tuduhan terhadap Umar itu tidak berdasar sama sekali. Hal itu disebabkan Perpustakaan Alexandria Lama, seperti telah telah dikemukakan di awal, telah sirna ketika Julius Caesar membakar sebagian kota itu pada tahun 48 SM. Perpustakaan yang telah dibangun kembali dalam ukuran yang lebih kecil pun lenyap akibat gempuran Kaisar Theodosius I pada tahun 391 M.
Pada saat Amr ibn al-Ash menaklukan Alexandria pada tahun 21 H/640 M, perpustakaan tersebut sudah tidak ada lagi puing-puingnya. Hal ini dikukuhkan dengan tidak adanya catatan dari para sejarawan terpercaya tentang pembakaran perpustakaan oleh Umar bin Khatthab pada masa itu. Demikian pula keterangan sejarawan muslim seperti al-Yaqubi, al-Bladzuri, al-Kindi, dan lainnya.
Tuduhan pembakaran perpustakaan oleh Umar muncul akibat karya yang ditulis Abdul Latif al-Baghdadi, seorang ahli astronomi sekaligus dokter yang lahir pada 1162 M dan meninggal di Baghdad pada tahun1231 M. Menurut catatan ilmuwan yang sezaman dengan Maimonides serta pernah melakukan perjalanan ke Mosul dan Damaskus tersebut, di Alexandria terdapat sejumlah pilar dan bidang kosong yang mengelilinginya. Menurutnya, di area ini seorang ilmuwan terkenal Aristoteles pernah mengajar murid-muridnya dan Alexander Agung mendirikan perpustakaannya. Menurutnya pula terdapat sebuah perpustakaan yang dibakar Amr ibn al-Ash atas perintah Umar ibn Al-Khattab.
Catatan itu kemudian di-blow up oleh sejarawan pada masa itu, Abu al-Fajar ibn Harun al-Ibri. Berdasarkan catatan tanpa pijakan ilmiah kuat tersebut, legenda pembakaran perpustakaan Alexandria oleh Umar ibn Al-Khattab kemudian dikutip oleh Edward Gibbon dalam karyanya “The Decline and fall of the Roman Empire”. Begitu pula Rene Seldiot dalam karyanya ”The History of the World” yang menyatakan bahwa warisan kebudayaan Islam terhadap kebudayaan manusia adalah pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun yang ditanami. Kutipan yang sangat menyedihkan!
Dari sinilah isu pembakaran perpustakaan tersebut tersebar ke berbagai penjuru dunia. Padahal Umar ibn al-Khatthab tidak pernah melakukan tidakan biadab tersebut. (RA)
Konon, perpustakaan itu memiliki 500 ribu gulungan papyrus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14 M, Perpustakaan Sorbonne, Paris, yang katanya memiliki koleksi terbesar di zamannya hanya memiliki 1.700 buku.
Beberapa koleksi yang berharga adalah syair-syair karya Homer dan Hesoid. Ada pula naskah-naskah drama karya Sophocles, Euripides, dan Aristophanes. Di samping itu, terdapat pula buku-buku filsafat karya Plato dan Aristoteles, buku-buku sejarah karya Hecteus dan Herodotus, serta buku-buku kedokteran Medicine Corpus of Hipporactes dan Herophilus.
Para penguasa Mesir kala itu begitu bersemangat untuk memperbanyak koleksi literatur mereka. Sampai-sampai, mereka memerintahkan para prajurit untuk menggeledah setiap kapal yang masuk guna memperoleh sebuah naskah. Jika menemukan naskah, mereka menyimpan yang asli dan mengembalikan salinannya pada pemiliknya. Pada waktu itu, perpustakaan menjadi salah satu rumah para cendikiawan kelas dunia yang menghasilkan karya-karya besar di bidang geometri, trigonometri, astronomi, bahasa, kesusastraan, dan kedokteran.
Sayangnya, kemegahan perpustakaan ini berkali-kali runtuh dihantam badai serangan. Tercatat, ada tiga peristiwa serangan besar yang meluluhlantakkan Perpustakaan Alexandria.
Pertama, menurut dokumen yang berjudul “Kronik Perang Alexandria” karya Titus Livius bahwa Julius Caesar dari Roma memerintahkan pembakaran gedung itu untuk mengalahkan Ptolemeus. Cara ini dipakai untuk menghambat gerakan lawan karena sang kaisar tahu bahwa penduduk Alexandria sangat cinta pada perpustakaannya. Jika bangunan itu dibakar, mereka pasti beramai-ramai memadamkan api dan membiarkan Caesar pergi. Misi itu berhasil dan tercatat bahwa Perpustakaan Alexandria kehilangan 40.000 buku.
Kerusakan kedua dan ketiga disebabkan penyerangan bangsa Aurelian dan perusakan oleh Theophilus. Setelah itu, perpustakaan ditutup hingga Mesir dibebaskan oleh kaum Muslimin.
Sejak itulah perpustakaan Alexandria Baru dirancang oleh Snohetta, sebuah biro asitektur Norwegia. Perpustakaan dibagi secara diagonal dan berdiri dalam bentuk silinder yang ditusuk oleh sebuah garis lurus. Garis lurus yang menusuk bentuk silinder perpustakaan tersebut tidak lain adalah jembatan penyeberangan dari Universitas Alexandria bagian selatan. Jembatan tersebut membentang ke arah lantai dua perpustakaan dan terus ke plaza di sebelah utara gedung yang mengarah ke laut. Selain itu, bangunan berbentuk silinder dipotong oleh sudut miring. Semua dinding miring tersebut mengarah ke utara, ke arah laut Mediterania.
Dinding perpustakaan yang menghadap ke arah selatan dari bagian silinder dihiasi dengan potongan batu granit. Potongan tersebut berasal dari pecahan batu yang sangat besar, bukan hasil potongan alat seperti gergaji. Permukaan batu tersebut rata, dengan bentuk garis yang halus.
Batu-batu granit tersebut ditulis dengan simbol huruf dari seluruh dunia. Sinar matahari dan pantulan lampu di perbatasan air menghasilkan bentuk bayangan dinamis dari simbol tersebut. Pemandangan ini mengingatkan pada tempat beribadah Mesir kuno.
Dinding melengkung terbuat dari beton dengan sambungan vertikal terbuka. Sementara dinding yang lurus dihiasi dengan batu hitam dari Zimbabwe.
Sahabat wisata muslim, ada sebuah isu yang subur di kalangan para pembenci Islam bahwa Umar bin Khatthab telah menyuruh Amr ibn al-Ash menundukan Alexandria pada tahun 21H/640M, agar membakar perpustakaan tersebut.
Ternyata, tuduhan terhadap Umar itu tidak berdasar sama sekali. Hal itu disebabkan Perpustakaan Alexandria Lama, seperti telah telah dikemukakan di awal, telah sirna ketika Julius Caesar membakar sebagian kota itu pada tahun 48 SM. Perpustakaan yang telah dibangun kembali dalam ukuran yang lebih kecil pun lenyap akibat gempuran Kaisar Theodosius I pada tahun 391 M.
Pada saat Amr ibn al-Ash menaklukan Alexandria pada tahun 21 H/640 M, perpustakaan tersebut sudah tidak ada lagi puing-puingnya. Hal ini dikukuhkan dengan tidak adanya catatan dari para sejarawan terpercaya tentang pembakaran perpustakaan oleh Umar bin Khatthab pada masa itu. Demikian pula keterangan sejarawan muslim seperti al-Yaqubi, al-Bladzuri, al-Kindi, dan lainnya.
Tuduhan pembakaran perpustakaan oleh Umar muncul akibat karya yang ditulis Abdul Latif al-Baghdadi, seorang ahli astronomi sekaligus dokter yang lahir pada 1162 M dan meninggal di Baghdad pada tahun1231 M. Menurut catatan ilmuwan yang sezaman dengan Maimonides serta pernah melakukan perjalanan ke Mosul dan Damaskus tersebut, di Alexandria terdapat sejumlah pilar dan bidang kosong yang mengelilinginya. Menurutnya, di area ini seorang ilmuwan terkenal Aristoteles pernah mengajar murid-muridnya dan Alexander Agung mendirikan perpustakaannya. Menurutnya pula terdapat sebuah perpustakaan yang dibakar Amr ibn al-Ash atas perintah Umar ibn Al-Khattab.
Catatan itu kemudian di-blow up oleh sejarawan pada masa itu, Abu al-Fajar ibn Harun al-Ibri. Berdasarkan catatan tanpa pijakan ilmiah kuat tersebut, legenda pembakaran perpustakaan Alexandria oleh Umar ibn Al-Khattab kemudian dikutip oleh Edward Gibbon dalam karyanya “The Decline and fall of the Roman Empire”. Begitu pula Rene Seldiot dalam karyanya ”The History of the World” yang menyatakan bahwa warisan kebudayaan Islam terhadap kebudayaan manusia adalah pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun yang ditanami. Kutipan yang sangat menyedihkan!
Dari sinilah isu pembakaran perpustakaan tersebut tersebar ke berbagai penjuru dunia. Padahal Umar ibn al-Khatthab tidak pernah melakukan tidakan biadab tersebut. (RA)
Judul: Perpustakaan Alexandria Rumah Para Cendikiawan Kelas Dunia
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...
0 comments... Baca dulu, baru komentar
Post a Comment